Entry Populer

Kamis, 16 Oktober 2008

Pesona Gili Trawangan

Gili Trawangan terletak di sebelah barat laut pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Keindahan alam pulau ini mampu menarik perhatian turis asing terutama para penggila diving dan snorkeling, namun sayangnya jumlah turis lokal Indonesia masih dapat dihitung dengan jari tangan. Di pulau ini tidak terdapat satupun kendaraan bermotor, moda transportasi yang diperbolehkan mondar-mandir di pulau ini hanyalah kuda dengan keretanya dan penduduk lokal menyebut alat transportasi ini dengan cidomo.
Ladies and gentlemen, please seat tight and enjoy some pictures of Gili Trawangan :





Dream Divers hotel




Hey....it's Indonesian flag!












No Boundaries....















Restoran Pizza di pulau terpencil

















Bagaimana pendapat Anda mengenai keindahan gili trawangan ini? Maka janganlah ragu untuk mengepak tas ransel dan pergi mengunjungi pulau indah ini. Di sana tidak terdapat polusi udara, maupun kemacetan lalu lintas. Yang ada hanyalah pasir putih, pantai yang indah dan penduduk yang bersahabat. So what are you waiting for?

Senin, 13 Oktober 2008

Resensi Buku: Elie Wiesel, Night


Sebuah buku dengan judul yang sangat singkat: Malam. Penulisnya adalah Elie Wiesel, seorang keturunan Yahudi yang memperoleh Nobel Perdamaian pada tahun 1986. Melalui buku ini, Wiesel ingin menceritakan peristiwa-peristiwa pahit yang harus dijalaninya selama di kamp konsentrasi Auschwitz dan Buchenwald pada masa kejayaan Nazi tahun 1944.
Wiesel beserta orang tua dan kedua saudarinya dipaksa oleh Nazi untuk meninggalkan rumah mereka yang nyaman di Sighet, Transylvania, pada saat ia masih dalam usia remaja: 15 tahun. Dalam kondisi mendapat perintah dari para prajurit Gestapo, mereka masuk ke dalam sebuah gerbong kereta yang sudah penuh sesak oleh rekan sebangsa Yahudi menuju kamp konsentrasi Auschwitz.
Ketika kereta api tiba di Auschwitz, hari masih gelap. Dari jendela gerbong kereta api, Wiesel melihat api dan asap membumbung tinggi dari sebuah Chimney yang besar serta bau daging terbakar yang menyengat. Pemandangan ini membuat hatinya menjadi ciut. Kemudian mereka harus turun dari kereta api dan dipisahkan antara kaum pria dan wanita, sehingga pada saat inilah Wiesel dapat melihat ibu dan kedua saudarinya untuk terakhir kali. Setelah mereka dipaksa berjalan menuju bangunan kamp, mereka harus melewati chimney dan dapat merasakan panasnya api yang keluar daripadanya. Wiesel melihat sebuah truk sedang menurunkan muatannya di dekat chimney, anak-anak yang masih terbungkus oleh kain, mereka masih bayi! Bayi-bayi ini dilempar ke dalam api dalam keadaan hidup. Wiesel bertanya dalam hati: apakah saya bermimpi? apakah saya masih hidup?
Tujuan Wiesel menulis buku ini adalah supaya kejadian mengerikan seperti pengalaman pahitnya ini tidak terulang kembali di masa depan. Dan ia ingin memberikan penghormatan dan peringatan untuk kedua orang tuanya serta adik kecilnya yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Bagaimana cara Wiesel dapat bertahan hidup di dalam kamp konsentrasi? Anda dapat membaca lebih lanjut kisah hidup Elie Wiesel yang dituliskan di dalam buku berjudul Night.

Minggu, 05 Oktober 2008

Ranca Bentang III/3

Saat ini saya sedang ingin mengenang masa lalu, sebelas tahun yang lalu, ketika itu saya mendapati kenyataan bahwa saya diterima menjadi mahasiswi baru di sebuah universitas swasta di Bandung. Maka saya pun mencari tempat kos yang lokasinya tidak jauh dari kampus, karena pada saat itu, saya hanya mengandalkan kedua kaki untuk dapat berangkat belajar ke kampus, alias tidak punya kendaraan pribadi. Untung saja, saya mendapatkan sebuah kamar kos khusus putri di jalan Ranca Bentang III No.3. Lokasinya cukup strategis karena perjalanan ke kampus dapat ditempuh hanya dalam waktu lima belas menit dengan berjalan kaki. Kos khusus putri ini hanya memiliki 9 buah kamar tidur dengan 3 buah kamar mandi, dapur di bagian belakang dan sebuah ruang televisi yang cukup besar.

Para anggota kos ini berasal dari beberapa daerah di Indonesia, sebagian besar berasal dari Jakarta, serta tiga orang yang masing-masing berasal dari Semarang, Padang dan Lampung. Menjadi seorang anak kos berarti harus belajar banyak hal seperti: belajar hidup mandiri, belajar mengatur keuangan dan belajar menghargai perbedaan karakter dari sesama penghuni kos. Kadangkala terjadi salah paham atau konflik di antara anggota kos akibat masing-masing individu memiliki keunikan yang tidak ada duanya di dunia, seperti: ada teman yang sangat mengerti bahasa kucing sehingga sering menyapa kucing yang sedang berjalan di depan rumah, adapula yang kerjaannya tidur terus, atau adapula individu yang sering stress karena lupa mengerjakan tugas asistensi kampus. Namun sebagai anak kos yang jauh dari rumah, kami belajar menjadi dewasa, sehingga kami berusaha menyelesaikan sekecil apapun konflik, dan membuat suasana rumah kos tetap nyaman.

Selain itu, keuntungan memiliki predikat anak kos, kami belajar untuk mengatur keuangan. Hal ini sangat penting, karena kami masih bergantung dari uang kiriman orang tua, dan begitu banyak biaya yang harus dilunasi setiap bulannya; foto copy buku kuliah, biaya transportasi, biaya dugem (dunia gemerlap), bayar sewa kos, dan yang paling penting adalah biaya membeli makanan. Seperti rahasia umum yang sudah diketahui oleh banyak orang, Bandung merupakan kota dengan banyak tempat makan yang sangat menggiurkan, sebut saja: serabi Enhai, martabak San Fransisco, siomay Cisangkuy dan masih banyak lagi. Seringkali uang kiriman orang tua tidak mencukupi karena sifat boros dan lapar mata yang kadang menghinggapi sehingga uang sudah habis sebelum waktunya. Namun kami sering merasa malu untuk meminta lebih, aduh....gengsi dong. Maka trik yang akan kami lakukan adalah: memecahkan celengan ayam kesayangan, makan pagi hanya minum kopi, makan siang dengan mie instan dan makan malam hanya seperempat porsi. Sungguh menyedihkan, namanya juga nasib anak kos.

Hal yang paling saya rindukan adalah kebersamaan ketika salah satu penghuni kos sedang berulang tahun. Kebersamaan dalam hal menyiapkan telur busuk, tepung terigu dan sebanyak mungkin ember berisi air yang dengan berbagai macam cara dapat kami siramkan tepat di atas kepala the birthday girl. Setelah proses penyiraman ini, tibalah saatnya kami ditraktir makan di tengah kota Bandung. Sebagai informasi, letak kampus saya berada di daerah Ciumbuleuit yang terletak di perbukitan Bandung Utara, sehingga jauh dari pusat kota. Dan yang paling menyedihkan, setiap jam 6 sore, ada peraturan tidak tertulis bahwa angkot hijau yang biasanya berjalan hilir mudik dari dan menuju kampus tidak diperkenankan beroperasi. Angkot hijau digantikan dengan pengendara sepeda motor alias ojek, sampai dengan jam 6 pagi keesokan harinya. Sehingga bila kami ditraktir makan malam di daerah Dago dan tiba di pertigaan Ciumbuleuit pada jam 8 malam, jangan harap dapat menemukan angkot karena tidak akan ada angkot yang berani menarik penumpang. Maka jalan satu-satunya untuk pulang ke kos adalah menggunakan kedua kaki alias berjalan kaki sepanjang 3 kilometer dengan karakteristik jalan yang menanjak pula. Sebenarnya ada alternatif naik ojek, tapi kami ingin memanfaatkan situasi kebersamaan tersebut secara maksimal dengan mengeluarkan ongkos yang minimal.

Bagaimana dengan cerita saya. Seru bukan? Maka jangan pernah sepelekan nasib anak kos, karena dengan menjadi bagian dari anak kos, saya dapat belajar hidup mandiri, belajar mengatur keuangan dan yang paling penting bisa bertemu dengan pribadi-pribadi penuh ketulusan dalam berteman. Semuanya itu saya dapatkan di Ranca Bentang III/3.

........

Tulisan ini didedikasikan untuk: Alice, Nanis, Dian, Mia, Sisca, Nana, Anita, Dita, Mandy dan Stella. Thank's for the memories. Cheers!