Minggu, 29 November 2009

Artificial Friend, No More!

Di awal bulan Desember 2009, penduduk Jakarta dikejutkan dengan berita meninggalnya 3 orang berusia muda akibat jatuh dari ketinggian, dan peristiwa tersebut terjadi hampir bersamaan di 3 pusat perbelanjaan mewah yang berbeda. Sebagai tambahan informasi yang lebih mengejutkan, mereka diketahui dengan sengaja menjatuhkan diri alias bunuh diri. Sebuah tindakan yang tidak pernah dilakukan secara spontan sebab berdasarkan penelitian di berbagai negara, tidak ada tindakan bunuh diri yang langsung dilaksanakan pada pikiran pertama, artinya, seseorang akan menimbang-nimbang terlebih dahulu sebelum benar-benar melaksanakan niatnya (Kompas, 13/12/2009, Hal.17).

Tindakan nekad mengakhiri hidup sendiri ini diduga sebagai akibat rasa putus asa menghadapi tekanan hidup yang berat ataupun menghadapi penyakit kronis yang tak tersembuhkan ataupun akibat putus cinta. Apakah mereka yang melakukan hal nekad tersebut tidak memiliki teman di kehidupan sehari-hari yang dapat dijadikan sebagai tempat curahan hati? Sepertinya jawabannya adalah belum tentu, sebab mungkin saja para korban ini memiliki banyak teman namun hanya dapat dianggap sebagai artificial friend, alias orang-orang yang diketahui berteman hanya di permukaan atau basa-basi saja. Teman yang ada di saat mereka sedang berbahagia namun melarikan diri di saat mereka sedang sedih atau susah hati ataupun mereka dikelilingi oleh teman-teman yang tidak tulus mencintai sehingga di saat mereka mengalami depresi/frustasi/putus asa, mereka sulit menemukan orang untuk berbagi.

Menurut data riset kesehatan dasar tahun 2007 yang diadakan oleh Departemen Kesehatan RI, penderita yang mengalami depresi di wilayah Jakarta adalah 14,6 % populasi penduduk Indonesia, sebuah angka yang mengkhawatirkan, karena siapa tahu sebenarnya salah satu anggota keluarga kita ataupun salah satu teman kita termasuk di dalam kelompok orang yang sedang mengalami rasa depresi dan frustasi. Tingginya angka penderita depresi di Jakarta diakibatkan oleh besarnya tekanan hidup di kota metropolitan ini dan suasana individual yang semakin kental. Apakah yang dapat kita lakukan untuk menekan angka penderita depresi? Langkah terbaik yang dapat kita lakukan adalah: janganlah menutup mata/menutup telinga/menutup mulut apalagi menutup wajah kepada orang-orang yang ada di sekitar kita, karena siapa tahu di sekitar kita terdapat penderita depresi yang sedang membutuhkan motivasi dan semangat untuk melanjutkan hidup. Selain itu kita pun sebaiknya memotivasi diri untuk mengembangkan sikap tulus dalam berteman dan memperhatikan orang lain, sehingga pada akhirnya akan diperoleh hasil: artificial friend, no more!!!

Sumber Tulisan: Saat Hidup Tidak Lagi Berarti, Lusiana & Yulia, Kompas 13/12/2009.
Photograph is taken by Alice Mulia

Sabtu, 24 Oktober 2009

Naik Roller Coaster?

Apakah Anda pernah naik wahana roller coaster? Jika jawaban pertanyaan itu adalah pernah, pastinya Anda mengetahui bahwa roller coaster merupakan wahana permainan berupa kereta yang dipacu dengan kecepatan tinggi pada jalur rel khusus yang ditopang oleh rangka baja tersusun sedemikian rupa di atas permukaan tanah. Pada saat duduk di dalam kereta ini, pengunjung akan mengalami percepatan (perubahan kecepatan terhadap waktu) ketika bergerak turun dan perlambatan (kecepatan berkurang terhadap waktu) ketika bergerak naik. Perubahan kecepatan inilah yang menyebabkan permainan roller coaster disukai oleh pengunjung karena ketika berada di dalam kereta tersebut, pengunjung akan mengalami rasa kuatir, gembira dan takut pada saat bersamaan. Walaupun sebenarnya perasaan campur aduk itupun dapat dirasakan oleh manusia saat menjalani wahana yang lebih serius yaitu roller coaster kehidupan.

Dapat dikatakan sebagai roller coaster kehidupan karena pada saat menjalani kehidupannya, seringkali manusia mengalami peristiwa yang tidak dapat dimengerti olehnya dan perubahan di antara peristiwa yang satu dengan lainnya terjadi begitu cepat. Keadaan ini mirip dengan jalannya kereta di jalur roller coaster dimana pengunjung yang telah duduk di dalamnya tidak dapat menebak arah pergerakan kereta. Sebuah ilustrasi: di saat seorang manusia merayakan kegembiraannya mendapatkan hadiah undian sebuah mobil mewah, ia harus menerima kenyataaan beberapa jam kemudian bahwa salah seorang paman kesayangannya meninggal dunia akibat terkena serangan jantung saat memimpin rapat di kantornya. Dua kejadian ekstrem ini terjadi di saat yang hampir bersamaan, dan terjadi tiba-tiba tak terduga, sehingga manusia tersebut bingung mengenai reaksi yang harus diambilnya.

Peristiwa yang akan terjadi di dalam kehidupan manusia tidak dapat diprediksi ataupun dikendalikan, hal ini dapat membuat kita sadar bahwa kita hanyalah manusia biasa dengan keterbatasan dan kekurangan. Sehingga dalam menghadapi perubahan peristiwa yang cepat itu, hal yang dapat dilakukan hanyalah mengatur reaksi kita, kemudian mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga di saat mengalami kegembiraan, kita dapat bersyukur dan jauh dari kesombongan, kemudain sebaliknya bila mengalami kepahitan akibat peristiwa sedih di kehidupan ini, hanya Tuhan yang dapat memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat bangkit kembali.

So, Ladies and Gentlemen, please fasten your seat belt and enjoy the ride.....

Rabu, 09 September 2009

Tanpa Judul

Tidak mempunyai ide untuk menulis adalah sebuah mimpi buruk bagi seorang penulis yang sedang dikejar tenggat waktu penerbitan. Mimpi buruk itu dapat menyebabkan rasa frustasi yang membuat penampilan sang penulis menjadi amburadul alias acak-acakan; rambut gimbal tidak disisir, malas melihat matahari alias keluar rumah, sobekan dan gulungan kertas berhamburan di sekeliling meja komputer dan yang paling parah: aktifitas mandi berada di urutan ke100 yang akan dilakukannya. Wah, untung saja saya bukan 100% penulis, sebab saat ini saya hanyalah seseorang yang nekad menulis pengalamannya.

Ide & imajinasi untuk menulis sedang tidak ada di dalam pikiran, namun saya akan menceritakan kejadian saat terjadi gempa di hari Rabu, 2 September yang lalu. Saat itu saya sedang berada di lantai 10 sebuah gedung di daerah Kuningan, Jakarta, menghadiri rapat bulanan divisi. Mata saya sedang berada di level 5 watt ketika saya melihat pigura foto wakil presiden RI Jusuf Kalla yang terpasang di dinding bergerak ke kanan-ke kiri. Wah, saya pasti sudah mengantuk berat nih...gawat.....batin saya. Namun untung saja, ternyata saya tidak berhalusinasi melihat pigura tersebut bergerak, sebab tidak hanya pigura foto itu saja yang bergerak, tirai jendela pun turut bergerak begitu pula dengan saya yang sedang duduk dengan manis di kursi. Gempa bumi...salah satu rekan saya berkata dengan suara keras. Peserta rapat berjumlah 10 orang dan kami saling berpandang-pandangan, bila ada satu orang saja yang lari keluar ruangan, pasti kami semua akan bergegas mengikuti jejaknya. Namun atasan saya pun menenangkan situasi dengan berkata: tenang, tidak perlu panik, kita bisa bersembunyi di bawah meja rapat. Meja rapat yang terdapat di dalam ruangan terbuat dari kayu jati yang kokoh, namun tetap saja goncangan gempa membuat hati kami ciut. Setelah saling berpandangan selama 1 menit, gempa berhenti dan meeting pun dilanjutkan kembali.

Ketika kami sedang berusaha memusatkan pikiran kembali ke topik meeting, goncangan gempa kembali terjadi walaupun kali ini intensitasnya telah berkurang seperti yang biasanya terjadi pada gempa susulan. Acara meeting rencananya akan dilanjutkan kembali saat suara ketukan pintu terdengar, salah satu rekan kami dari General Affair meminta kami untuk meninggalkan ruang meeting, kami harus mengikuti evakuasi turun dengan tangga. Ketika saya keluar ruangan, saya pun menyadari bahwa seluruh ruangan kantor sudah sunyi senyap, where's everybody?

Ketika kami sampai dengan selamat di lantai dasar, kami menemukan kerumunan orang yang telah mendahului kami turun. Pemimpin rapat mendekati atasan saya dan bertanya kira-kira berapa lama proses evakuasi ini akan berlangsung, dan atasan saya menjawab: kira-kira satu jam, dan pemimpin rapat berkata: baiklah, setelah itu kita kembali ke atas untuk melanjutkan meeting. Saya yang mendengar perkataannya hanya bisa berharap agar tidak terjadi lagi gempa susulan.

Ternyata gempa berkekuatan 7,3 SR berpusat di 142 kilometer barat daya Tasikmalaya, informasi ini saya peroleh dari rekan yang mendapatkan informasi dari internet. Wah, sungguh cepat informasi dapat kita peroleh di jaman milenium ini. Kami masih dapat dikatakan beruntung bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal dekat dengan pusat gempa, dimana banyak sekali orang yang kehilangan sanak saudara, rumah bahkan tertimpa longsoran tebing yang runtuh. Wilayah Indonesia memang terletak di zona gempa baik itu gempa tektonik maupun vulkanik, sehingga keadaan ini tidak dapat dihindari oleh kita....kata saya dalam hati saat naik kembali ke lantai 10 untuk melanjutkan meeting.



Turut berduka cita bagi saudara-saudara kita yang kehilangan harta benda & orang yang dicintai dalam peristiwa gempa bumi di Tasikmalaya.

Jumat, 24 Juli 2009

25 Detik

Kehidupan manusia di awal abad 21 ini telah dipermudah dengan ditemukannya produk-produk yang memiliki keunggulan dalam kecepatan pembuatannya. Contohnya bila kita ingin makan mie, kita dapat membeli sebungkus mie instan rasa kari, merebusnya di dalam air mendidih dan dalam 3 menit kemudian semangkuk mie dengan aroma kari telah terhidang di depan mata. Dalam hal ini masih ada usaha kita untuk merebus dan menunggu proses mie instan matang, coba bandingkan dengan usaha yang diperlukan untuk mendapatkan secangkir kopi panas dari mesin kopi. Kita hanya membutuhkan jari telunjuk untuk menekan tombol pilihan kopi yang tersedia di dalam mesin kopi tersebut, dan hanya dalam waktu 25 detik, cangkir plastik telah terisi penuh dengan kopi panas pilihan kita. Sungguh sangat praktis, sungguh sangat instan, tidak perlu merebus air, tidak perlu menunggu terlalu lama.

Proses instan tersebut menyebabkan manusia terlena dan menganggap semua hal dapat dilakukan secara praktis. Hal ini pun terjadi di dalam dunia pendidikan kita, sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Bandung terlibat dalam kasus perjokian saat seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Makasar. Sebanyak 14 mahasiswa yang terlibat kasus perjokian ini tergiur dengan iming-iming imbalan Rp. 30 juta per joki jika berhasil menggolkan pemakai jasa lolos SNMPTN (Kompas 23/7/09). Perjokian ini dapat terjadi sebab banyak calon mahasiswa yang ingin lolos SNMPTN namun malas menjalani proses belajar yang panjang dan mereka memiliki kelebihan finansial sehingga mampu membayar joki dengan harga yang mahal. Sebaliknya banyak mahasiswa cerdas yang kurang beruntung dalam hal finansial dan mereka tergiur untuk mendapatkan imbalan besar sehingga nekad menjadi joki. Namun tindakan mereka harus dibayar dengan mahal sebab 11 dari 14 mahasiwa tersebut diancam drop out dari ITB dan nama mereka tercantum di dalam daftar hitam sehingga tidak diberi kesempatan lagi untuk kuliah di universitas yang lain. Sebuah tindakan instan yang membahayakan masa depan anak bangsa.

Selain itu di jaman instan ini, manusia pun terlena pada kemudahan-kemudahan yang diperolehnya dari teknologi, sehingga pada saat terjadi masalah berat di dalam hidupnya, manusia menjadi depresi, frustrasi, tidak nyaman dengan kondisi tersebut, terutama bila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Ketika manusia berpaling kepada Tuhan, mereka pun mengharapkan agar Tuhan segera melenyapkan masalah tersebut kalau bisa dalam hitungan 25 detik seperti waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kopi panas dari mesin kopi, dan bila jawaban dari Tuhan tidak kunjung datang, manusia semakin terpuruk dalam kekecewaan. Padahal kadangkala rencana Tuhan tidaklah sama dengan rencana manusia dan memberikan proses panjang untuk mengubah karakter manusia menjadi lebih baik. Harus diakui teknologi instan sangat membantu kehidupan manusia, namun ada baiknya apabila kita selalu ingat bahwa tidak semua hal dapat diperoleh dengan cara instan.

Sabtu, 20 Juni 2009

Ketika

Ketika matahari bersinar terik, sang manusia bersungut-sungut kepanasan

Ketika hujan turun dengan derasnya, sang manusia bersungut-sungut karena seluruh pakaian yang dikenakannya basah

Ketika seorang sahabat menceritakan masalahnya, telinga sang manusia hanya terbuka setengah

Ketika sang manusia sedang mengalami permasalahan hidup yang berat, ia memaksa sahabat-sahabatnya untuk duduk mendengarkan ceritanya berjam-jam lamanya

Ketika seorang rekan kerja berhasil mendapatkan sebuah tender besar, sang manusia menanggapi berita baik tersebut dengan cibiran

Ketika sang manusia dipuji oleh atasannya atas prestasinya, ia menyebarkan berita tersebut ke seluruh penjuru dunia

Ketika seorang office boy di kantornya menginjak kakinya dengan tidak sengaja, sang manusia menunjukkan wajah bengis dan taringnya

Ketika mobil sang manusia menggores sebuah sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan, ia menginjak pedal gas semakin dalam dan melarikan diri

Ketika sang manusia menyadari hidupnya hampa, tidak ada kedamaian di dalam hatinya, ia pun mencari Tuhan kemudian berlutut di hadapanNya, memohon ampun atas dosa-dosanya dan bertobat, sebab manusia tercipta tidak sempurna dan membutuhkan pertolongan Tuhan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Senin, 25 Mei 2009

Seekor Belalang & Sebuah Kotak

Sebuah inspirasi yang baik dapat kita peroleh dari tulisan yang secara tidak sengaja kita baca. Saat ini saya ingin mengutip sebuah cerita menarik mengenai seekor belalang yang terperangkap di dalam kotak;
Seekor belalang telah lama terkurung di dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak tersebut dan dengan gembira ia melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan belalang lain, dan ia merasa heran dengan kenyataan bahwa belalang lain itu dapat melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Maka ia pun menghampiri belalang lain tersebut dan bertanya kepadanya mengapa ia dapat melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal usia dan ukuran tubuh mereka berdua tidak jauh berbeda. Belalang kedua menjawab pertanyaan tersebut dengan nada heran "Di manakah engkau tinggal selama ini? Semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan lompatan seperti yang aku lakukan." Mendengar jawaban tersebut, si belalang yang menghabiskan banyak waktu di dalam kotak pun tersadar bahwa kotak tersebut telah membatasi lompatannya sehingga hasilnya tidak dapat setinggi dan sejauh lompatan belalang lain yang hidup di alam bebas.
Cerita ini pun dapat terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Kadangkala tanpa sadar kita pun mengalami keadaan yang mirip dengan belalang tersebut. Lingkungan yang buruk, trauma masa lalu, perkataan & perbuatan negatif dari sesama, mendapatkan hinaan, kegagalan beruntun dan kebiasaan buruk dapat membuat kita terpenjara di dalam kotak semu yang dapat mematahkan semangat kita untuk mengembangkan potensi diri. Seringkali kita pun mempercayai begitu saja bila ada komentar negatif yang bersifat menjatuhkan mental dan semangat tanpa kita telaah lebih lanjut mengenai kebenarannya.
Setiap manusia pastilah memiliki potensi diri untuk dapat 'melompat lebih tinggi dan lebih jauh' namun seringkali secara sukarela kita memposisikan diri terkurung di dalam kotak berupa pikiran dan emosi negatif yang dapat membatasi potensi diri tersebut. Tidakkah kita ingin membebaskan diri agar dapat mencapai sesuatu yang selama ini menurut anggapan, di luar batas kemampuan dan pemikiran kita? Setiap manusia pasti bisa mengasah potensi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dengan tidak membiarkan pikiran dan emosi negatif mempengaruhi diri. Selamat berjuang, kita pasti bisa!
.
Sumber tulisan: Pikiran, NN, Mimbar Pastoral Gereja St. Yohanes Penginjil Kebayoran baru, 31/5/2009

Minggu, 26 April 2009

Sebuah Jurnal Petualangan

Sebuah keberuntungan membawa saya kembali dapat berkunjung ke pulau Lombok. Dapat dikatakan sebagai keberuntungan, karena kunjungan kali ini ke Nusa Tenggara Barat dibiayai oleh perusahaan tempat saya bekerja, walaupun konsekuensi yang harus dijalani adalah selama tiga hari dua malam mengikuti rangkaian rapat yang panjang dan melelahkan. Namun hal tersebut tidak menghalangi saya untuk merasa gembira karena seorang penggemar travelling akan menghargai keadaan dimana dirinya dapat bepergian tanpa mengeluarkan biaya pribadi.
Ketika rangkaian rapat telah diselesaikan dengan baik dan akhir pekan telah tiba, beberapa rekan kantor memutuskan untuk memperpanjang masa kunjungannya di pulau Lombok namun dengan konsekuensi biaya selama masa extend tersebut harus ditanggung sendiri oleh peserta. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat enam orang yang akhirnya memutuskan untuk pergi mengunjungi Gili Trawangan yang terletak di bagian barat laut pulau Lombok. Dan sudah dapat dipastikan nama saya tercantum di dalam list kelompok enam orang ini, sehubungan dengan status saya yang pernah berkunjung ke sana, sehingga rekan-rekan pun mempercayakan pengaturan akomodasi dan transportasi kepada saya.
Ketika hari Sabtu menjelang, kami bersiap dengan tas ransel masing-masing di depan lobby hotel yang terletak di daerah Senggigi, kami menunggu jemputan. Beberapa penginapan di Gili Trawangan menyediakan transportasi mobil penjemputan dan perahu mesin untuk menyeberang dari Senggigi, dan kami pun tanpa ragu memilih paket tersebut sebab dengan menginap satu malam di sana, kami mempunyai banyak waktu untuk menikmati keindahan alam pulau tersebut. Dan sebagai informasi, hampir 90% penginapan yang terletak di gugusan Gili milik pengusaha dari benua Eropa, sebagian besar berasal dari negara Jerman dan Perancis. Perahu mesin yang akan mengantarkan kami menyeberangi selat Lombok berangkat terlambat 15 menit, namun hal itu tidak menjadi masalah karena kami telah terpesona dengan keindahan alam yang terbentang di depan mata. Keadaan perairan sedang bersahabat, langit cerah, air laut dalam kondisi tenang dan terlihat di sebelah kiri perahu pemandangan Gunung Agung-pulau Bali dan di sebelah kanan terlihat Gunung Rinjani-pulau Lombok. Pemandangan indah seperti inilah yang selalu membuat saya bangga dengan kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia.
Setelah tiga puluh menit berada di perairan selat Lombok, perahu mesin merapat di dermaga Gili Trawangan. Terlihat beberapa turis asing tengah bersiap-siap naik ke atas perahu sambil membawa tabung oksigen dan memakai baju selam. Terlihat beberapa turis asing tengah menikmati pemandangan sambil naik sepeda sewaan. Terlihat beberapa turis asing naik kuda delman yang disebut cidomo. Terlihat beberapa turis asing sedang bersenda gurau dengan penduduk lokal. Saya pun heran, dimana-mana turis asing, dimanakah turis lokal dari Indonesia? Jangan-jangan hanya kami berenam sajakah yang dapat disebut sebagai turis lokal? Hmm, mungkin saja.
Setelah beristirahat sejenak di penginapan, kami pun memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan mengikuti tur gilis hopping sambil menikmati keindahan terumbu karang dengan snorkeling. Disebut tur gilis hopping karena kami akan mengelilingi tiga pulau yang terletak berdekatan di dalam gugusan pulau kecil ini dengan perahu mesin, ketiga pulau tersebut adalah: Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Setelah lelah snorkeling dan menikmati makan siang di Gili Air, tibalah saatnya bagi kami untuk kembali ke Gili Trawangan. Saat acara makan siang di Gili Air, awan hitam telah menggantung di langit, dan air laut mulai bergejolak. Keadaan perairan selat Lombok semakin meresahkan karena ombak tinggi mulai menghempas perahu kami dengan awak perahu terdiri dari seorang nahkoda dan seorang asistennya. Angin dingin dan hujan rintik-rintik yang menerpa wajah tidak kami hiraukan, sebab rasa takut perahu akan terguling karena hempasan ombak tinggi lebih menguasai hati kami. Di saat yang menegangkan itu, kami hanya bisa bergantung pada keahlian sang nahkoda mengendalikan perahu, dan jaket pelampung yang kami pergunakan saat snorkeling tidak kami lepaskan dari badan. Suasana sunyi pun tercipta di antara kami, namun setelah menjalani 20 menit dalam suasana menegangkan, perahu mulai mendekati dermaga Gili Trawangan dan sang nahkoda perahu pun mengurangi kecepatan mesin perahu. Fiuuh....kami berenam pun bernapas lega kembali. Thanks God.
Kembali ke penginapan, beristirahat sejenak, setelah itu kami pun tidak ingin menyia-nyiakan waktu hanya berdiam diri di dalam penginapan, maka kami memutuskan untuk trekking ke atas bukit yang terletak di pulau dan menunggu matahari terbenam. Karena tidak mengetahui jalur trekking, kami sempat tersesat dan hanya bertemu dengan beberapa ekor sapi yang sedang merumput. Andai saja sapi-sapi itu dapat berbicara, pasti mereka akan menunjukkan arah yang tepat kepada kami. Hari semakin gelap, dan kami semakin putus asa, namun akhirnya salah satu dari kami melihat rumah penduduk dan berkat informasi dari penduduk lokal yang baik hati, kami menemukan jalan kembali ke tengah keramaian. Menu makan malam adalah seafood, tentu saja, yang kami nikmati di sebuah restaurant di pinggir pantai. Setelah menyantap makan malam, kami kembali ke penginapan. Sungguh hari yang sangat melelahkan dan penuh dengan perjuangan, maka tidak heran bila kaki saya pun terasa pegal-linu.
Hari Minggu yang cerah menyapa kami. Tanpa terasa, kami harus meninggalkan segala keindahan ini untuk kembali ke rutinitas kami di Jakarta. Pesawat kami akan tinggal landas dari bandara Selaparang-Mataram pada pukul 2 sore hari, maka kami hanya punya waktu sampai pukul 10 pagi di Gili Trawangan, sebab sebuah speedboat akan mengantarkan kami kembali ke pulau Lombok pukul setengah 11. Dengan sedikitnya waktu yang tersisa, saya dan dua orang rekan memutuskan untuk menyewa sepeda selama satu jam. Begitu indahnya alam yang terbentang di depan mata dan begitu banyaknya pria asing berwajah tampan yang berjalan mondar-mandir di kanan kiri saya, sehingga setang sepeda pun oleng dan tanpa disengaja saya pun terjatuh dengan suksesnya. Namun sayangnya, para pria tampan itu tidak ada yang menolong, sampai akhirnya dua rekan saya datang menolong dengan wajah penuh belas kasihan dan menahan tawa. Beberapa penduduk lokal yang baik hati pun bergegas menolong dan mengatakan bahwa luka di lutut saya merupakan oleh-oleh tidak terlupakan dari Gili Trawangan. Aih....bisa aja deh.
Tanpa terasa, tiba saatnya bagi kami untuk mengucapkan selamat tinggal kepada pulau yang indah ini. Namun, petualangan belum selesai, sebab naik speedboat pun merupakan bagian dari petualangan yang sangat seru, mirip adegan di salah satu episode serial detektif Miami Vice. Perjalanan ke pulau Lombok hanya ditempuh dalam waktu 15 menit, dengan kondisi beberapa kali speedboat melayang di udara dan menghempas dengan keras di atas permukaan air laut. Sungguh, sebuah petualangan yang seru dan tak terlupakan.
Semoga jurnal ini dapat membuat Anda tertarik untuk mengikuti jejak kami melakukan perjalanan ke pulau Lombok dan Gili Trawangan. Sepertinya kita harus mulai belajar mencintai keindahan alam yang telah Tuhan berikan kepada kita secara cuma-cuma. Apakah harus bangsa asing yang memberitahukan kepada kita supaya kita bersyukur atas keindahan alam ini? Mudah-mudahan hal itu tidak akan pernah terjadi.

Senin, 30 Maret 2009

Berkaca pada Artikel

Sebuah artikel di koran menghentakkan hati saya. Wartawan yang menulis artikel tersebut meliput peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung di Cirendeu, Tangerang Selatan. Musibah yang menimpa masyarakat yang tinggal di sekitar tanggul tersebut sangat dahsyat dan membuat sedih hati siapapun yang mendengar ataupun melihat liputan peristiwa mengenai berita tersebut di televisi. Namun artikel yang saya maksud merupakan hasil liputan musibah tersebut dari sudut pandang lain, yaitu mengenai datangnya anggota masyarakat dari daerah lain yang menjadi penonton di lokasi kejadian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam lima tahun belakangan ini, terjadi banyak musibah di wilayah Indonesia, baik yang terjadi akibat alam maupun manusia, mulai dari musibah tsunami di Aceh, lumpur lapindo di Sidoarjo, gempa di Yogyakarta dan beberapa musibah lain yang membuat masyarakat menyadari bahwa wilayah Indonesia sangat rentan terhadap terjadinya bencana. Di setiap tempat terjadinya musibah, selalu saja muncul orang-orang yang dengan tulus membantu baik dalam bentuk uang maupun barang-barang pokok yang sangat diperlukan oleh masyarakat yang terkena bencana. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa muncul anggota masyarakat yang hanya ingin menonton tanpa memberikan bantuan dukungan atau moral kepada korban bencana.
Di dalam artikel dalam rubrik Sisi Lain ini, si wartawan menulis bahwa kawasan musibah telah berubah menjadi arena wisata sebab berbondong-bondong orang datang ingin membandingkan apa yang mereka lihat di televisi dengan apa yang akan mereka rasa dan lihat sendiri di lokasi, belum lagi ditambah kehadiran para pedagang makanan yang tidak melepaskan kesempatan untuk berjualan di tengah kehadiran 'wisatawan' dadakan tersebut. Kalimat yang sangat menyentak hati adalah pernyataan yang dibuat oleh budayawan Garin Nugroho yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah terbiasa menjadi penonton, konsumen dan komentator sehingga mereka ingin merasakan sensasi saudara-saudaranya yang sedang susah, ingin merasakan sensasi kengerian melihat kiamat di suatu tempat, sehingga mereka mendatangi lokasi musibah hanya untuk menjadi penonton. Penyebabnya adalah tumbuhnya tradisi televisi dan birokrasi negara yang buruk. Selain itu, Emha Ainun Nadjib pun memberikan opininya yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan anatomi nilai sehingga tidak dapat lagi membedakan dan merasakan apa itu malu, penyesalan, kerendahan hati, kesombongan, kesusahan, atau kegembiraan.
Apakah memang hal itu yang telah terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang sangat heterogen ini? Marilah kita berkaca dengan artikel ini, apakah kita termasuk ke dalam golongan orang yang ingin tulus membantu sesamanya yang sedang terkena musibah ataukah kita dikategorikan ke dalam sebutan 'wisatawan' musibah? Hmm, jawabannya terserah Anda....
...
Turut berduka cita kepada masyarakat yang mengalami kehilangan sanak saudara di peristiwa jebolnya Situ Gintung.
Sumber tulisan: Menonton Musibah; Widoro Adi; Kompas 29/3/2009.

Senin, 09 Februari 2009

Undangan Merah Marun

Sebuah undangan pernikahan tergeletak di atas meja ruang tamu. Nama saya dengan jelas tercetak di bagian depan amplop berwarna merah marun tersebut. Saat saya membuka undangan, terbaca nama seorang wanita sebagai salah satu calon pengantin yang berbahagia. Sebuah nama yang asing dalam ingatan, sehingga saya mencoba membuka file nama teman-teman wanita di dalam benak dan setelah beberapa menit mencoba, jawabannya tetap: no name matched. Apakah undangan pernikahan ini salah alamat? Untuk menemukan jawabannya, mata saya pun segera bergerak ke cetakan nama calon pengantin pria, dan seketika itu pun dapat dipastikan bahwa undangan tersebut tidak salah alamat, sebab nama pria yang tercetak di situ adalah mantan pacar saya. Gubraks!

Setelah dapat menguasai situasi dan keadaan tenang kembali, saya menyampaikan hal ini kepada keluarga terdekat dan mereka menganjurkan saya untuk datang ke pernikahan tersebut sambil ditemani salah satu dari dua orang pria ganteng bernama Michael dan Stevie. Mereka mengusulkan hal itu mengingat saat itu status saya masih jojoba (jomblo berbahagia). Dengan sangat berat hati akhirnya saya menolak usulan mereka, sebab walaupun kedua pria tersebut berwajah menarik dan menjadi pujaan hati banyak wanita, namun mereka berdua adalah saudara sepupu saya. Gubraks!

Seorang wanita yang belum menikah dan menghadapi peristiwa menerima undangan pernikahan mantan pacar, terbagi dalam dua kelompok besar yaitu mereka yang datang dengan membawa gandengan yang lebih ganteng dari mantan pacar dan mereka yang menaruh undangan pernikahan tersebut di pojok lemari pakaian tanpa menghadirinya. Sepertinya saya tidak akan masuk ke dalam dua kelompok wanita tersebut, sebab saya memutuskan untuk menghadirinya tanpa gandengan sebab saya kan bukan truk gandeng. Gubraks!

Pada hari pernikahan yang telah ditentukan, saya pun berjalan dengan mantapnya masuk ke dalam gedung. Walaupun saya tidak didampingi oleh seorang pria yang ganteng, namun bukan berarti minim persiapan. Tentu saja saya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, gaun yang menarik, rambut tertata rapi dan tak lupa mengucapkan doa supaya Tuhan menguatkan hati saya. Gubraks!

Ternyata proses memberikan selamat kepada pasangan pengantin dan kedua orang tua mereka pun berjalan dengan lancar. Kemudian saya menuju ke meja makanan dan setelah menyapa beberapa orang kenalan yang berdiri di sekitar meja, saya pun mengambil makanan yang terlihat sangat lezat. Saat saya mulai makan dan tanpa sengaja melihat ke podium pengantin, tiba-tiba makanan yang sedang berada di tenggorokan saya tidak dapat ditelan. Mata saya pun bergerak ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari minuman dan terlihat sebuah gelas berisi air putih tergeletak di pojok ruangan. Saya setengah berlari menuju gelas tersebut dan sedikit berkompetisi dengan seorang ibu dengan jambul rambut yang tinggi, namun saya memenangkan kompetisi, berhasil mengambil gelas dan meminumnya. Akhirnya makanan yang tersangkut itu berhasil tertelan dan saya pun kembali bernapas lega. Sebuah pengalaman yang menegangkan namun yang paling penting adalah saya berhasil mengalahkan rasa takut menghadapi pernikahan seorang mantan pacar, walaupun terjadi insiden makanan tersangkut di tenggorokan. Gubraks!

Jumat, 16 Januari 2009

Komunikasi Internet

Manusia sebagai mahluk sosial, membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Proses interaksi dapat dilakukan dalam komunikasi baik verbal maupun tulisan. Namun di jaman canggih awal abad 21 seperti saat ini, manusia tidak perlu lagi harus bertatap muka maupun mengeluarkan suara untuk berkomunikasi, sebab internet telah masuk ke dalam relung-relung kehidupan manusia.
Keajaiban internet telah membuat jarak menjadi tidak berarti. Contohnya bila terdapat 2 orang sahabat yang terpisah di antara kota Tegal (Jawa Tengah) dan kota San Diego (USA), mereka dapat saling berbagi cerita dengan mengirimkan surat elektronik tanpa harus bertatap muka maupun mengeluarkan biaya komunikasi sambungan langsung jarak jauh yang mahal. Kecanggihan internet ini pun telah membuat seorang Mark Zuckerberg membuat situs pertemanan yang sedang mewabah baik di Indonesia maupun seluruh dunia yaitu: Facebook. Situs pertemanan ini membuat banyak orang dapat terkoneksi dengan teman-teman saat masih bermain di lapangan Taman Kanak-kanak sampai dengan teman yang duduk di sebelah kubikel ruang kantor. Para pengguna situs pertemanan ini pun dapat menunjukkan eksistensi diri mereka dengan memasang foto diri maupun menulis catatan mengenai kegiatan maupun hal menarik yang sedang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun kecanggihan internet mampu menghilangkan jarak di antara manusia, namun bila seorang manusia sedang tersambung dengan internet, ia seringkali tidak lagi menaruh perhatian kepada orang-orang yang saat itu sedang nyata berada di sekelilingnya. Sehingga komunikasi verbal pun semakin jarang dilakukan, padahal sebagai mahluk sosial sangat diperlukan kedua bentuk komunikasi tersebut. Apakah manusia akan mendapat predikat sebagai mahluk internet? Sebuah predikat yang agak menakutkan bukan?

Jumat, 09 Januari 2009

Penari Jalanan

Suasana jalan Malioboro di waktu sore menjelang detik-detik pergantian tahun baru 2009 sangatlah padat oleh manusia. Sebuah tenda biru yang terpasang di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, menarik perhatian saya. Terlihat banyak orang berkerumun di bawah tenda biru itu sambil membidikkan kamera saku mereka. Ternyata di lokasi dekat benteng Vredeburg Yogyakarta ini sedang berlangsung acara tari yang dilakukan oleh pengamen jalanan yang mayoritas berjenis kelamin pria namun merias wajah, mengenakan pakaian wanita dan menari secara gemulai. Mereka menaruh semacam kotak besar di depan kerumunan orang, berharap ada orang yang tergerak hatinya untuk menaruh uang di dalamnya.

Apakah keistimewaan para penari jalanan itu? Mengapa banyak orang tertarik untuk mengabadikan & melihat aktifitas ngamen tersebut? Beberapa pertanyaan terlintas dalam pikiran dan saya pun menemukan jawabannya saat dapat berdiri semakin dekat dengan kerumunan orang tersebut. Ternyata tergabung di dalam rombongan mereka, berdiri seorang penari yang telah terkenal baik di Indonesia maupun manca negara, ia adalah Didik Nini Thowok.

Berdasarkan tulisan yang pernah saya baca, Didik Nini Thowok memiliki semangat besar untuk memajukan kota Yogyakarta sebagai kota kebudayaan, sehingga ia pun mengadakan acara mengamen di pinggir jalan Malioboro dengan teman-teman penari. Menurutnya, dengan diadakannya acara menari di pinggir jalan ini, para turis manca negara akan tertarik untuk melihat salah satu kekayaan budaya Jawa. Ide ngamen jalanan ini terlintas pada saat beliau mengunjungi kota Paris dan Barcelona, dimana di dua kota besar Eropa tersebut para pengamen jalanan bebas untuk mengekspresikan diri mereka tanpa dipandang sebelah mata. Uang yang berhasil Didik dan teman-temannya kumpulkan ini akan disumbangkan kepada orang yang membutuhkan.

Terus terang, saya kagum dengan kerendahan hati dan semangat beliau untuk melestarikan budaya Indonesia. Semoga semakin banyak orang yang terinspirasi oleh sepak terjang seorang Didik Nini Thowok. Salute!


Sumber tulisan: Didik Nini Thowok: Busking for culture, turism; Slamet Susanto; The Jakarta Post;17/5/2008.

Rabu, 07 Januari 2009

Pepes Express

Matahari telah terbenam dan saya sedang berada di dalam kereta api yang menghubungkan kota Yogyakarta-Solo ketika secara tiba-tiba kaki kiri saya terasa sakit. Ternyata seorang pria berusia paruh baya sedang menginjak kaki tersebut. Auwww....teriak saya. Ekspresi wajah pria tersebut tidak berubah, seolah-olah teriakan itu hilang ditelan angin, padahal jarak di antara kami berdua hanya sejengkal tangan. Pria itu tetap mencoba berjalan di depan saya sambil berkata "Dimanakah istriku?". Ternyata ia sedang mencari istrinya yang terpisah gerbong kereta. Usahanya itu pun disambut teriakan marah dari beberapa orang yang berdiri di sebelah saya. Maklum saja, saat itu kondisi gerbong kereta api penuh dengan penumpang, untuk berdiri saja sudah sulit.

Inilah kondisi moda transportasi rakyat yang menghubungkan dua kota di Jawa Tengah tersebut dimana para penumpang hanya mengeluarkan biaya per-tiket Rp.7000 dengan waktu tempuh satu jam, sehingga tidak mengherankan bila banyak orang memilih membeli tiket kereta api sebagai alternatif transportasi terbaik. Namun seperti hal yang biasanya terjadi di dunia moda transportasi rakyat, jumlah gerbong yang disediakan pada jam puncak tidak dapat mengakomodir jumlah penumpang. Sehingga rakyat jelata pun harus rela berdesak-desakan di dalam kereta.

Saat saya masih berada di dalam kereta api yang diberi judul Prambanan Express ini, tiba-tiba makanan pepes jamur terlintas di pelupuk mata. Bagaimanakah perasaan jamur-jamur itu saat dimasak sebagai pepes? Apakah merasa kepanasan dan tidak dapat bergerak bebas? Lho, kok mirip keadaan saya di dalam kereta api ini ya? Jangan-jangan saya sedang berada di dalam pepes express? Hmm....