Entry Populer

Senin, 30 Maret 2009

Berkaca pada Artikel

Sebuah artikel di koran menghentakkan hati saya. Wartawan yang menulis artikel tersebut meliput peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung di Cirendeu, Tangerang Selatan. Musibah yang menimpa masyarakat yang tinggal di sekitar tanggul tersebut sangat dahsyat dan membuat sedih hati siapapun yang mendengar ataupun melihat liputan peristiwa mengenai berita tersebut di televisi. Namun artikel yang saya maksud merupakan hasil liputan musibah tersebut dari sudut pandang lain, yaitu mengenai datangnya anggota masyarakat dari daerah lain yang menjadi penonton di lokasi kejadian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam lima tahun belakangan ini, terjadi banyak musibah di wilayah Indonesia, baik yang terjadi akibat alam maupun manusia, mulai dari musibah tsunami di Aceh, lumpur lapindo di Sidoarjo, gempa di Yogyakarta dan beberapa musibah lain yang membuat masyarakat menyadari bahwa wilayah Indonesia sangat rentan terhadap terjadinya bencana. Di setiap tempat terjadinya musibah, selalu saja muncul orang-orang yang dengan tulus membantu baik dalam bentuk uang maupun barang-barang pokok yang sangat diperlukan oleh masyarakat yang terkena bencana. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa muncul anggota masyarakat yang hanya ingin menonton tanpa memberikan bantuan dukungan atau moral kepada korban bencana.
Di dalam artikel dalam rubrik Sisi Lain ini, si wartawan menulis bahwa kawasan musibah telah berubah menjadi arena wisata sebab berbondong-bondong orang datang ingin membandingkan apa yang mereka lihat di televisi dengan apa yang akan mereka rasa dan lihat sendiri di lokasi, belum lagi ditambah kehadiran para pedagang makanan yang tidak melepaskan kesempatan untuk berjualan di tengah kehadiran 'wisatawan' dadakan tersebut. Kalimat yang sangat menyentak hati adalah pernyataan yang dibuat oleh budayawan Garin Nugroho yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah terbiasa menjadi penonton, konsumen dan komentator sehingga mereka ingin merasakan sensasi saudara-saudaranya yang sedang susah, ingin merasakan sensasi kengerian melihat kiamat di suatu tempat, sehingga mereka mendatangi lokasi musibah hanya untuk menjadi penonton. Penyebabnya adalah tumbuhnya tradisi televisi dan birokrasi negara yang buruk. Selain itu, Emha Ainun Nadjib pun memberikan opininya yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan anatomi nilai sehingga tidak dapat lagi membedakan dan merasakan apa itu malu, penyesalan, kerendahan hati, kesombongan, kesusahan, atau kegembiraan.
Apakah memang hal itu yang telah terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang sangat heterogen ini? Marilah kita berkaca dengan artikel ini, apakah kita termasuk ke dalam golongan orang yang ingin tulus membantu sesamanya yang sedang terkena musibah ataukah kita dikategorikan ke dalam sebutan 'wisatawan' musibah? Hmm, jawabannya terserah Anda....
...
Turut berduka cita kepada masyarakat yang mengalami kehilangan sanak saudara di peristiwa jebolnya Situ Gintung.
Sumber tulisan: Menonton Musibah; Widoro Adi; Kompas 29/3/2009.