Entry Populer

Jumat, 16 Januari 2009

Komunikasi Internet

Manusia sebagai mahluk sosial, membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Proses interaksi dapat dilakukan dalam komunikasi baik verbal maupun tulisan. Namun di jaman canggih awal abad 21 seperti saat ini, manusia tidak perlu lagi harus bertatap muka maupun mengeluarkan suara untuk berkomunikasi, sebab internet telah masuk ke dalam relung-relung kehidupan manusia.
Keajaiban internet telah membuat jarak menjadi tidak berarti. Contohnya bila terdapat 2 orang sahabat yang terpisah di antara kota Tegal (Jawa Tengah) dan kota San Diego (USA), mereka dapat saling berbagi cerita dengan mengirimkan surat elektronik tanpa harus bertatap muka maupun mengeluarkan biaya komunikasi sambungan langsung jarak jauh yang mahal. Kecanggihan internet ini pun telah membuat seorang Mark Zuckerberg membuat situs pertemanan yang sedang mewabah baik di Indonesia maupun seluruh dunia yaitu: Facebook. Situs pertemanan ini membuat banyak orang dapat terkoneksi dengan teman-teman saat masih bermain di lapangan Taman Kanak-kanak sampai dengan teman yang duduk di sebelah kubikel ruang kantor. Para pengguna situs pertemanan ini pun dapat menunjukkan eksistensi diri mereka dengan memasang foto diri maupun menulis catatan mengenai kegiatan maupun hal menarik yang sedang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun kecanggihan internet mampu menghilangkan jarak di antara manusia, namun bila seorang manusia sedang tersambung dengan internet, ia seringkali tidak lagi menaruh perhatian kepada orang-orang yang saat itu sedang nyata berada di sekelilingnya. Sehingga komunikasi verbal pun semakin jarang dilakukan, padahal sebagai mahluk sosial sangat diperlukan kedua bentuk komunikasi tersebut. Apakah manusia akan mendapat predikat sebagai mahluk internet? Sebuah predikat yang agak menakutkan bukan?

Jumat, 09 Januari 2009

Penari Jalanan

Suasana jalan Malioboro di waktu sore menjelang detik-detik pergantian tahun baru 2009 sangatlah padat oleh manusia. Sebuah tenda biru yang terpasang di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, menarik perhatian saya. Terlihat banyak orang berkerumun di bawah tenda biru itu sambil membidikkan kamera saku mereka. Ternyata di lokasi dekat benteng Vredeburg Yogyakarta ini sedang berlangsung acara tari yang dilakukan oleh pengamen jalanan yang mayoritas berjenis kelamin pria namun merias wajah, mengenakan pakaian wanita dan menari secara gemulai. Mereka menaruh semacam kotak besar di depan kerumunan orang, berharap ada orang yang tergerak hatinya untuk menaruh uang di dalamnya.

Apakah keistimewaan para penari jalanan itu? Mengapa banyak orang tertarik untuk mengabadikan & melihat aktifitas ngamen tersebut? Beberapa pertanyaan terlintas dalam pikiran dan saya pun menemukan jawabannya saat dapat berdiri semakin dekat dengan kerumunan orang tersebut. Ternyata tergabung di dalam rombongan mereka, berdiri seorang penari yang telah terkenal baik di Indonesia maupun manca negara, ia adalah Didik Nini Thowok.

Berdasarkan tulisan yang pernah saya baca, Didik Nini Thowok memiliki semangat besar untuk memajukan kota Yogyakarta sebagai kota kebudayaan, sehingga ia pun mengadakan acara mengamen di pinggir jalan Malioboro dengan teman-teman penari. Menurutnya, dengan diadakannya acara menari di pinggir jalan ini, para turis manca negara akan tertarik untuk melihat salah satu kekayaan budaya Jawa. Ide ngamen jalanan ini terlintas pada saat beliau mengunjungi kota Paris dan Barcelona, dimana di dua kota besar Eropa tersebut para pengamen jalanan bebas untuk mengekspresikan diri mereka tanpa dipandang sebelah mata. Uang yang berhasil Didik dan teman-temannya kumpulkan ini akan disumbangkan kepada orang yang membutuhkan.

Terus terang, saya kagum dengan kerendahan hati dan semangat beliau untuk melestarikan budaya Indonesia. Semoga semakin banyak orang yang terinspirasi oleh sepak terjang seorang Didik Nini Thowok. Salute!


Sumber tulisan: Didik Nini Thowok: Busking for culture, turism; Slamet Susanto; The Jakarta Post;17/5/2008.

Rabu, 07 Januari 2009

Pepes Express

Matahari telah terbenam dan saya sedang berada di dalam kereta api yang menghubungkan kota Yogyakarta-Solo ketika secara tiba-tiba kaki kiri saya terasa sakit. Ternyata seorang pria berusia paruh baya sedang menginjak kaki tersebut. Auwww....teriak saya. Ekspresi wajah pria tersebut tidak berubah, seolah-olah teriakan itu hilang ditelan angin, padahal jarak di antara kami berdua hanya sejengkal tangan. Pria itu tetap mencoba berjalan di depan saya sambil berkata "Dimanakah istriku?". Ternyata ia sedang mencari istrinya yang terpisah gerbong kereta. Usahanya itu pun disambut teriakan marah dari beberapa orang yang berdiri di sebelah saya. Maklum saja, saat itu kondisi gerbong kereta api penuh dengan penumpang, untuk berdiri saja sudah sulit.

Inilah kondisi moda transportasi rakyat yang menghubungkan dua kota di Jawa Tengah tersebut dimana para penumpang hanya mengeluarkan biaya per-tiket Rp.7000 dengan waktu tempuh satu jam, sehingga tidak mengherankan bila banyak orang memilih membeli tiket kereta api sebagai alternatif transportasi terbaik. Namun seperti hal yang biasanya terjadi di dunia moda transportasi rakyat, jumlah gerbong yang disediakan pada jam puncak tidak dapat mengakomodir jumlah penumpang. Sehingga rakyat jelata pun harus rela berdesak-desakan di dalam kereta.

Saat saya masih berada di dalam kereta api yang diberi judul Prambanan Express ini, tiba-tiba makanan pepes jamur terlintas di pelupuk mata. Bagaimanakah perasaan jamur-jamur itu saat dimasak sebagai pepes? Apakah merasa kepanasan dan tidak dapat bergerak bebas? Lho, kok mirip keadaan saya di dalam kereta api ini ya? Jangan-jangan saya sedang berada di dalam pepes express? Hmm....