Ladies and gentlemen, please seat tight and enjoy some pictures of Gili Trawangan :
Dream Divers hotel
Hey....it's Indonesian flag!
No Boundaries....
Restoran Pizza di pulau terpencil
Selain itu, keuntungan memiliki predikat anak kos, kami belajar untuk mengatur keuangan. Hal ini sangat penting, karena kami masih bergantung dari uang kiriman orang tua, dan begitu banyak biaya yang harus dilunasi setiap bulannya; foto copy buku kuliah, biaya transportasi, biaya dugem (dunia gemerlap), bayar sewa kos, dan yang paling penting adalah biaya membeli makanan. Seperti rahasia umum yang sudah diketahui oleh banyak orang, Bandung merupakan kota dengan banyak tempat makan yang sangat menggiurkan, sebut saja: serabi Enhai, martabak San Fransisco, siomay Cisangkuy dan masih banyak lagi. Seringkali uang kiriman orang tua tidak mencukupi karena sifat boros dan lapar mata yang kadang menghinggapi sehingga uang sudah habis sebelum waktunya. Namun kami sering merasa malu untuk meminta lebih, aduh....gengsi dong. Maka trik yang akan kami lakukan adalah: memecahkan celengan ayam kesayangan, makan pagi hanya minum kopi, makan siang dengan mie instan dan makan malam hanya seperempat porsi. Sungguh menyedihkan, namanya juga nasib anak kos.
Hal yang paling saya rindukan adalah kebersamaan ketika salah satu penghuni kos sedang berulang tahun. Kebersamaan dalam hal menyiapkan telur busuk, tepung terigu dan sebanyak mungkin ember berisi air yang dengan berbagai macam cara dapat kami siramkan tepat di atas kepala the birthday girl. Setelah proses penyiraman ini, tibalah saatnya kami ditraktir makan di tengah kota Bandung. Sebagai informasi, letak kampus saya berada di daerah Ciumbuleuit yang terletak di perbukitan Bandung Utara, sehingga jauh dari pusat kota. Dan yang paling menyedihkan, setiap jam 6 sore, ada peraturan tidak tertulis bahwa angkot hijau yang biasanya berjalan hilir mudik dari dan menuju kampus tidak diperkenankan beroperasi. Angkot hijau digantikan dengan pengendara sepeda motor alias ojek, sampai dengan jam 6 pagi keesokan harinya. Sehingga bila kami ditraktir makan malam di daerah Dago dan tiba di pertigaan Ciumbuleuit pada jam 8 malam, jangan harap dapat menemukan angkot karena tidak akan ada angkot yang berani menarik penumpang. Maka jalan satu-satunya untuk pulang ke kos adalah menggunakan kedua kaki alias berjalan kaki sepanjang 3 kilometer dengan karakteristik jalan yang menanjak pula. Sebenarnya ada alternatif naik ojek, tapi kami ingin memanfaatkan situasi kebersamaan tersebut secara maksimal dengan mengeluarkan ongkos yang minimal.
Bagaimana dengan cerita saya. Seru bukan? Maka jangan pernah sepelekan nasib anak kos, karena dengan menjadi bagian dari anak kos, saya dapat belajar hidup mandiri, belajar mengatur keuangan dan yang paling penting bisa bertemu dengan pribadi-pribadi penuh ketulusan dalam berteman. Semuanya itu saya dapatkan di Ranca Bentang III/3.
........
Tulisan ini didedikasikan untuk: Alice, Nanis, Dian, Mia, Sisca, Nana, Anita, Dita, Mandy dan Stella. Thank's for the memories. Cheers!