Kehidupan manusia di awal abad 21 ini telah dipermudah dengan ditemukannya produk-produk yang memiliki keunggulan dalam kecepatan pembuatannya. Contohnya bila kita ingin makan mie, kita dapat membeli sebungkus mie instan rasa kari, merebusnya di dalam air mendidih dan dalam 3 menit kemudian semangkuk mie dengan aroma kari telah terhidang di depan mata. Dalam hal ini masih ada usaha kita untuk merebus dan menunggu proses mie instan matang, coba bandingkan dengan usaha yang diperlukan untuk mendapatkan secangkir kopi panas dari mesin kopi. Kita hanya membutuhkan jari telunjuk untuk menekan tombol pilihan kopi yang tersedia di dalam mesin kopi tersebut, dan hanya dalam waktu 25 detik, cangkir plastik telah terisi penuh dengan kopi panas pilihan kita. Sungguh sangat praktis, sungguh sangat instan, tidak perlu merebus air, tidak perlu menunggu terlalu lama.
Proses instan tersebut menyebabkan manusia terlena dan menganggap semua hal dapat dilakukan secara praktis. Hal ini pun terjadi di dalam dunia pendidikan kita, sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Bandung terlibat dalam kasus perjokian saat seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Makasar. Sebanyak 14 mahasiswa yang terlibat kasus perjokian ini tergiur dengan iming-iming imbalan Rp. 30 juta per joki jika berhasil menggolkan pemakai jasa lolos SNMPTN (Kompas 23/7/09). Perjokian ini dapat terjadi sebab banyak calon mahasiswa yang ingin lolos SNMPTN namun malas menjalani proses belajar yang panjang dan mereka memiliki kelebihan finansial sehingga mampu membayar joki dengan harga yang mahal. Sebaliknya banyak mahasiswa cerdas yang kurang beruntung dalam hal finansial dan mereka tergiur untuk mendapatkan imbalan besar sehingga nekad menjadi joki. Namun tindakan mereka harus dibayar dengan mahal sebab 11 dari 14 mahasiwa tersebut diancam drop out dari ITB dan nama mereka tercantum di dalam daftar hitam sehingga tidak diberi kesempatan lagi untuk kuliah di universitas yang lain. Sebuah tindakan instan yang membahayakan masa depan anak bangsa.
Selain itu di jaman instan ini, manusia pun terlena pada kemudahan-kemudahan yang diperolehnya dari teknologi, sehingga pada saat terjadi masalah berat di dalam hidupnya, manusia menjadi depresi, frustrasi, tidak nyaman dengan kondisi tersebut, terutama bila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Ketika manusia berpaling kepada Tuhan, mereka pun mengharapkan agar Tuhan segera melenyapkan masalah tersebut kalau bisa dalam hitungan 25 detik seperti waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kopi panas dari mesin kopi, dan bila jawaban dari Tuhan tidak kunjung datang, manusia semakin terpuruk dalam kekecewaan. Padahal kadangkala rencana Tuhan tidaklah sama dengan rencana manusia dan memberikan proses panjang untuk mengubah karakter manusia menjadi lebih baik. Harus diakui teknologi instan sangat membantu kehidupan manusia, namun ada baiknya apabila kita selalu ingat bahwa tidak semua hal dapat diperoleh dengan cara instan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar